“ORA oleh mengidolakan uwong sakliyane kangjeng
nabi. Murtad kuwi! Kapir!” kata kawan SD saya.
Romannya serius. Saya
cengengesan.
Sergahnya, “Heh, iya,
kuwi jare kiaiku.”
Saya mengangkat bahu.
Tersenyum. “Ngajimu durung jangkep,” kata saya.
Hatinya panas. Ia
mengejek, “Kapir, kapir, kapir…”
Namanya anak-anak. Bisa
tengkar, tapi sebentar kemudian berderai tawa dalam permainan. Tak ada jabat
tangan. Tak ada kata maaf. Tapi mereka sama tahu bahwa mereka telah saling
memaafkan, bahkan sebelum kejadian tak mengenakkan itu terjadi. Begitulah
kepolosan yang mereka punya.
Saya maklum. Perdebatan
dengan kawan saya terjadi tanpa rencana. Ini hanya soal pujaan. Pemeluk Islam
mafhum bahwa kangjeng nabi manusia utama. Ini mutlak dalam aras iman. Seperti
waktu kawan saya itu saya tanya tentang sebabnya. Ia berkeras, “Ya, pokoke
kudu ngunu!” Ya, pokoknya. Begitulah yang hingga kini jamak dianggap sebagai
iman. Lugas. Tanpa syarat. Bebas dari intervensi nalar. Meskipun yang terakhir
itu disebut-sebut sebagai nikmat Tuhan yang dapat meningkatkan derajat iman.